LPKAN Indonesia Nilai, Politik Indonesia Masih Dikuasai Uang

0

SURABAYA, – Lembaga Pemantau Kinerja Aparatur Negara (LPKAN) menilai demokrasi Indonesia kehilangan substansi karena biaya politik yang mahal tidak sebanding dengan lahirnya pemimpin berkualitas.

 

Tahun 1971, Orde Baru menggelar pemilu pertamanya. Saat itu rezim menyebutnya sebagai pemilu paling demokratis, namun faktanya hanya mengukuhkan dominasi Golkar di bawah kendali ketat negara. Rakyat dipaksa memilih tanpa benar-benar bebas.

 

Dua puluh delapan tahun kemudian, pada 1999, Indonesia melaksanakan pemilu pertama era reformasi. Euforia kebebasan politik begitu terasa. Puluhan partai bermunculan, rakyat bersukacita karena hak suara tidak lagi dikendalikan penguasa. Banyak pihak kala itu percaya demokrasi Indonesia akan lebih sehat, substantif, dan bermakna.

 

Namun setelah 27 tahun reformasi, realitas pahit muncul. Demokrasi memang masih berjalan: pemilu rutin, partai bebas berdiri, rakyat bisa memilih. Tetapi kualitas dan substansinya kian merosot. Demokrasi menjadi berbiaya tinggi, miskin ide, miskin kader, dan miskin integritas.

 

Sekretaris Jenderal Lembaga Pemantau Kinerja Aparatur Negara (LPKAN), Abdul Rasyid, menilai demokrasi Indonesia masih menghadapi persoalan serius, mulai dari politik berbiaya mahal, praktik transaksional, hingga lemahnya kualitas pejabat publik. Menurutnya, reformasi 1998 yang lahir sebagai koreksi terhadap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di era Orde Baru hingga kini belum sepenuhnya mampu mengikis budaya korupsi. Bahkan, praktik korupsi saat ini justru menimbulkan kerugian negara dalam skala lebih besar.

 

“Kalau di era Pak Harto ditutup dengan KKN, skalanya masih terbatas. Sekarang justru kerugian negara mencapai ratusan triliun rupiah, contohnya kasus tambang. Inilah yang harus menjadi evaluasi kita bersama,” ungkapnya.

 

Abdul Rasyid juga menyoroti maraknya politik dinasti, di mana jabatan publik diwariskan karena faktor finansial, bukan kapasitas. Menurutnya, hal ini berimbas pada menurunnya kualitas pejabat, baik di eksekutif maupun legislatif.

 

“Dulu ada tokoh-tokoh yang meski hanya lulusan SMA, tapi matang karena ditempa gerakan dan aktivisme. Sekarang banyak pejabat lahir karena kekuatan uang dan dinasti politik, sehingga minim pemahaman tentang kebutuhan rakyat,” jelasnya.

 

Ia menekankan bahwa mahalnya biaya politik menjadi masalah utama yang harus segera dibenahi. Pilkada maupun pemilu legislatif kerap menjadi ajang jual beli suara sehingga tidak menghasilkan pemimpin berkualitas.

 

“Politik Indonesia masih demokrasi berbiaya mahal. Inilah PR besar bagi DPR dan pemerintah untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi agar politik transaksional bisa diminimalisir,” tegasnya.

 

Terkait pemberantasan korupsi, Abdul Rasyid mendukung kebijakan perampasan aset hasil korupsi. Namun ia mengingatkan agar kebijakan itu tidak dijadikan alat politik untuk menyerang lawan.

 

“Kalau tidak ingin menerapkan hukuman mati seperti di Tiongkok, setidaknya pelaku korupsi harus dimiskinkan. Harta hasil jarahan negara jangan sampai bisa dinikmati, tapi perampasan aset harus dijalankan objektif, bukan sebagai alat politik,” ujarnya.

 

Abdul Rasyid menegaskan ada tiga langkah penting untuk memperbaiki arah demokrasi Indonesia.

 

Pertama, reformasi pembiayaan politik, di mana negara harus lebih serius mendanai partai dengan mekanisme transparan agar tidak bergantung pada donatur besar.

 

Kedua, penguatan kaderisasi, dengan mengembalikan fungsi partai sebagai sekolah politik yang menyiapkan pemimpin berkompeten dan berintegritas.

 

Ketiga, penguatan peran masyarakat sipil, agar rakyat, media, dan organisasi independen lebih aktif mengawasi proses politik sehingga tidak dikuasai oligarki.

 

Reformasi memang telah memberikan kebebasan politik, tetapi kebebasan saja tidak cukup. Demokrasi yang sehat butuh integritas, gagasan, dan keberpihakan pada rakyat. Setelah 27 tahun reformasi, pertanyaan yang patut direnungkan adalah apakah bangsa ini rela membiarkan demokrasi tetap mahal namun miskin kualitas, atau berani berbenah menuju demokrasi substantif yang benar-benar bekerja untuk rakyat.

 

Sebagai Sekjen LPKAN, Abdul Rasyid berharap lembaga legislatif maupun eksekutif ke depan dapat lebih fokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia aparatur negara. Menurutnya, hanya dengan integritas pejabat publik yang kuat, cita-cita reformasi bisa benar-benar tercapai. (*)

Leave A Reply

Your email address will not be published.