Surabaya, Lintas Surabaya – Seorang warga Desa Segoro Tambak, Heni Kartika, mengeluhkan buruknya pelayanan aparatur desa dalam proses pengurusan pemisahan Kartu Keluarga (KK) untuk anaknya yang akan menikah. Dugaan praktik pengabaian pelayanan publik bahkan indikasi permainan calo mencuat dalam kasus ini.
Kronologi bermula saat Heni Kartika mengurus pecah KK ke Kantor Desa Segoro Tambak pada 11 Juli 2025. Saat itu, ia menyerahkan seluruh dokumen persyaratan kepada petugas desa bernama Syifa. Namun ironisnya, berkas tersebut diterima begitu saja tanpa selembar pun tanda terima.
“Saya percaya saja, karena petugasnya dari desa. Tapi berhari-hari tidak ada kabar, saya mulai curiga,” ungkap Heni saat dikonfirmasi.
Ketika Heni menanyakan progres pengurusannya kepada Syifa, jawaban yang diterima justru dinilai mengada-ada. “Dibilangnya server maintenance tiga minggu. Saya pikir itu alasan yang dibuat-buat. Kalau benar, berapa banyak kepentingan warga lain yang terbengkalai?” keluhnya.
Pada 22 Juli, barulah pihak desa menyebut bahwa berkas sudah didaftarkan, namun masih dalam tahap verifikasi. Hal ini memunculkan kecurigaan bahwa alasan ‘server maintenance’ hanyalah upaya mengulur waktu.
Tak berhenti di situ, saat mendesak kejelasan dengan menghadirkan kuasa hukumnya, Dimas Haryo, SH. MM, Heni justru mendapat saran mengejutkan dari Syifa.
“Disuruh ke Mall Pelayanan Publik sendiri, katanya kalau mau cepat hubungi calo saja,” ujar Dimas Haryo kuasa hukum Heni dengan nada kecewa. Selasa (29/07).
Pernyataan tersebut tentu memicu tanda tanya besar soal integritas pelayanan publik di Desa Segoro Tambak. Alih-alih memberi solusi lewat jalur resmi, warga malah diarahkan pada jalur tak resmi melalui calo.
“Ini bukan sekadar kelalaian administratif, tapi bisa masuk pada dugaan pelanggaran etika pelayanan publik bahkan membuka potensi praktik pungutan liar,” tegas Dimas Haryo.
Masyarakat berharap ada tindak lanjut dari pihak kecamatan atau Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk menelusuri persoalan ini secara tuntas. Pelayanan publik seharusnya melayani, bukan mempermainkan. (red)