Bandung, Lintas Surabaya – Malam mencekam terjadi pada 1 September 2025, ketika aparat kepolisian kembali mempertontonkan wajah represifitasnya terhadap mahasiswa. Dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung (UNISBA) menjadi korban atas tindakan aparat yang dinilai cacat hukum dan jauh dari semangat perlindungan serta pengayoman yang seharusnya dijunjung tinggi oleh institusi Polri.
Korban pertama, Adjie Zhyran Putra Zein, ditangkap aparat sekitar pukul 22.00 WIB tanpa adanya dasar hukum yang jelas. Penangkapan dilakukan tanpa surat perintah maupun pemberitahuan alasan hukum. Hingga kini, Adjie masih ditahan tanpa kejelasan status hukumnya. Tindakan ini bertentangan dengan KUHAP Pasal 18 ayat (1) yang menegaskan penangkapan hanya dapat dilakukan dengan surat perintah, kecuali tertangkap tangan, serta mewajibkan aparat memberi tahu alasan penangkapan dan memberi akses pada keluarga maupun penasihat hukum.
Sementara itu, mahasiswa lainnya, Boby Indrawan, mengalami perlakuan lebih brutal. Dalam aksi yang seharusnya dijaga dengan pendekatan persuasif, Boby justru ditembak aparat hingga terjatuh, lalu tubuhnya dilindas motor Brimob yang menyebabkan patah tulang bahu kiri. Insiden ini bukan hanya melukai fisik, tetapi juga mencederai rasa keadilan masyarakat. Tindakan semacam itu bertentangan dengan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, yang menegaskan kewajiban polisi untuk melindungi, mengayomi, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Kondisi semakin memanas ketika aparat melemparkan gas air mata ke area kampus UNISBA. Padahal, kampus adalah ruang akademik yang secara moral maupun hukum harus dijaga sebagai tempat aman bagi mahasiswa dalam menyampaikan pendapat. Aksi itu menimbulkan kepanikan, gangguan kesehatan, sekaligus mencederai kebebasan akademik dan hak berpendapat yang dijamin Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
Tindakan aparat ini jelas memperlihatkan jurang besar antara idealitas hukum dengan praktik di lapangan. Penangkapan tanpa prosedur, penggunaan senjata secara brutal, hingga penyerangan ruang akademik dengan gas air mata adalah bentuk nyata penyimpangan terhadap prinsip due process of law dan penghormatan HAM.
Ketua Jaringan Pemuda dan Aktivis Indonesia (JAPAI), M. Soleh, dengan tegas mengecam tindakan aparat di UNISBA.
“Kami dari JAPAI mengutuk tindakan pihak kepolisian di UNISBA. Kampus adalah tempat steril sebagai lingkungan pendidikan. Tidak boleh aparat masuk kampus, apalagi melakukan tindakan represif yang brutal,” tegasnya. Rabu (03/08).
Kasus ini seharusnya menjadi alarm serius bagi negara. Ketika aparat yang diberi kewenangan menjaga keamanan justru bertindak di luar batas hukum, yang rusak bukan hanya tubuh para korban, tetapi juga sendi demokrasi, kepercayaan publik, dan marwah hukum itu sendiri. (red)