SURABAYA – Sidang perkara pencemaran nama baik dan fitnah dengan terdakwa dokter Sudjarno, mantan direktur Rumah Sakit Mata Undaan Surabaya, digelar kembali dengan agenda pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis (27/08/2020).
Terdakwa dilaporkan sendiri oleh salah satu pegawainya, dr. Lidya, karena menjatuhkan sangsi secara tertulis berupa surat peringatan pertama atas dasar pelanggaran prosedur kerja dan etika profesi.
Dalam keterangannya, saat ditanya oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yusuf Akbar Amin dari Kejari Tanjung Perak Surabaya, terdakwa mengaku memang yang mengeluarkan surat peringatan tersebut adalah dirinya.
“Karena direktur berwenang menjatuhkan hukuman etika profesi,”ujar terdakwa saat memberikan keterangannya di ruang sidang Garuda 2.
Terkait dasar dikeluarkannya surat peringatan tersebut, terdakwa menyampaikan ada pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 755/MENKES/PER/lV/2011 tentang penyelenggaraan komite medik di rumah sakit.
“Ada dasarnya saya sebagai direktur mengeluarkan surat peringatan itu,”tukas terdakwa yang pernah menjabat ketua komite medik tersebut.
Menurut terdakwa, saat diberikannya surat peringatan tersebut, dr Lidya menerima dan menanda tangani setelah sebelumnya di baca terlebih dahulu olehnya.
“Saat saya berikan surat peringatan dia terima. Sebelum ditanda tangani dibaca dulu. Tanda tangan di lembar copy surat peringatan itu,”jelasnya.
Kemudian, anehnya dr Lidya mengajukan keberatan ke direktur atas surat peringatan tersebut. Ia meminta kepada direktur untuk peringatan secara lisan saja.
“Suaminya yang membuat surat keberatan itu,”imbuh terdakwa.
Bahkan, masih kata terdakwa, dr Lidya sempat mengancam apabila dalam tiga hari tidak dilakukan pencabutan itu, dr Lidya akan melaporkan ke IDI dan instansi lainnya yang terkait.
“Sempat mengancam akan melaporkan ke IDI,”katanya.
Terkait laporan ke pihak kepolisian, menurut pengakuan terdakwa, dr Lidya sempat mengatakan apabila surat peringatan itu dicabut, maka dia akan mencabut laporan kepolisian.
“Sempat ada mediasi waktu di kepolisian terdakwa dengan dr Lidya disaksikan IDI pusat dan daerah. Dr Lidya bilang kalau surat peringatan itu di cabut maka dia akan mencabut laporannya di polisi. Dan IDI wilayah memerintahkan dr Lidya untuk mencabut laporan di kepolisian,”terangnya.
Lebih lanjut, terdakwa menjelaskan keluarnya surat peringatan terhadap dr Lidya, karena adanya pasien yang marah atas kinerja dr Lidya. Melalui pengacaranya, pasien melayangkan somasi kepada pihak rumah sakit.
“Setelah adanya somasi dari pengacara pasien, pihak rumah sakit mengadakan mediasi. Dan kami membayar ganti rugi sebesar Rp 400 juta untuk perdamaian agar tidak ada tuntutan lagi,”tandasnya.
Dalam kasus ini terdakwa, dr. Sudjarno didakwa melanggar pasal 310 ayat (2) KUHP dan pasal 311 ayat (1) KUHP.
Terpisah, Sumarso SH, Penasihat hukum terdakwa saat ditemui usai jalannya persidangan menyampaikan bahwa surat dakwaan jaksa yang mendasarkan pada putusan IDI cabang Surabaya masih diajukan keberatan kepada MKEK IDI pusat.
“Hingga saat ini belum ada putusannya,”ucapnya.
Lalu, masih kata Sumarso, dalam berita bukti acara yang dihadiri oleh dr Lidya dan perawat Anggih telah disebutkan jika perawat Anggi diperintahkan dr Lidya untuk melakukan operasi kepada klien.
“Tindakan dr Lidya yang telah menyalahi SOP, dikomplain sama pasien dan demi melindungi dr Lidya dari tuntutan hukum, rumah sakit membantu mediasi, dan menyelesaikan dengan damai dan memberi ganti rugi Rp 400 juta,”jelasnya.
Diakhir wawancara, Sumarso mengatakan jika pembuatan surat peringatan merupakan tindakan kolektif dari direksi karena surat peringatan terlebih dulu ditanda tangani wakil wakil direktur dan ditembuskan kepada tim medik.